Oleh : Nasya Amaliah S.Pd
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memprediksi kerugian negara dari kasus dugaan korupsi di Asabri mencapai Rp10 triliun-Rp16 triliun dan berdasarkan pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) soal kerugian korupsi Jiwasraya yang per Agustus 2019 mencapai Rp13,7 triliun per Agustus 2019. Anggota BPK Hary Azhar Azis menyatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku sudah mendengar isu dugaan korupsi di tubuh Asabri dan jiwasraya. Ia meminta hal itu diungkap secara tuntas. (cnnindonesia.com)
Sesuai perundang-undangan tersangka dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Koruptor yang terus tumbuh di Indonesia
Sejak pergantian pemimpin dari era orde lama maupun sampai saat ini, budaya korupsi di Indonesia seakan tumbuh subur. Padahal bangsa ini telah memiliki undang-undang bagi setiap pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman kurungan pun ternyata tidak mampu memberikan efek jera bahkan korupsi bagaikan virus yang setiap saat mewabahi para elit-elit politik untuk menjadi koruptor.
Islam yang sistemnya pemerintahannya merupakan ke-khilafahan memberlakukan sistem sanksi hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati begitulah ajaran Islam.
Hukuman ta’zir yang diberlakukan bagi para koruptor semata-mata untuk memberikan efek jera beda halnya seperti sistem saat ini yang sifat hukumannya tidak mampu meminimalisir tindak pidana korupsi.
Strategi Islam Mampu Memberantas Korupsi
Allah swt berfirman:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS:An-Nisaa Ayat: 123).
Dalam pemerintahan islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan.
Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya:
“Barang siapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya”. (Tafsir Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75).
Maka Islam melarang keras tindakan suap-menyuap, utamanya penguasa, pejabat dan para penegak hukum. Oleh sebab itu, Islam serta-merta merinci petunjuk pelaksanaan agar tindakan tidak terpuji tersebut dapat diberantas tuntas.
Penerapan hukum ini meminimalisasi kejahatan yang terjadi pada rentang waktu yang demikian panjang. Tercatat bahwa selama lebih 13 abad diterapkannya hukum Allah hanya sekitar dua ratus kasus yang terjadi.
Hal ini dimungkinkan oleh hukum Allah berfungsi sebagai pemberi efek jera bagi yang belum melakukan, dan menjadi penebus dosa bagi yang sudah melakukan tindakan kriminalitas (Al Anshari, 2006:287; Zallum, 2002). Adapun cara strategi Khilafah dalam memberantas korupsi, dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, menguatkan keimanan para penguasa, pejabat dan penegak hukum, serta rakyat akan pengawasan Allah (maraqabah), senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga tidak sedikit pun kesempatan manusia untuk menerima suap sebab merasa senantiasa diawasi Allah. Mereka takut hanya kepada Allah dan tidak takut kepada selain Allah, dengan menjalankan , seperti segala perintahNya. Allah swt berfirman:
Artinya: “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit”. ( Al Mâidah:44).
Kedua, penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat jabatan yang diamatkan kepadanya. Hal demikian dilakukan dalam rangka tabayyun atau mencari tahu jumlah kekayaan seorang pemangku jabatan, yang memungkinkan rehabilitasi terhadap nama baik terhadap tindakan kejahatan berikutnya, misalnya suap dan korupsi (mencuri).
Ketiga, diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri.
Keempat, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Kelima, pilar-pilar lain dalam upaya pemberantasan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.
Keenam, dalam Islam status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.
Itulah beberapa strategi Islam dalam memberantas korupsi atau suap-menyuap yang diharamkan dalam islam. Maka inilah keuntungan ketika kita menerapkan syari’at islam karena hanya dengan aturan islamlah korupsi mampu diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Maka jelas pula ditiada aturan atau hukum selain Allah yang mampu memberantas kejahatan ataupun kemaksiatan kepada Allah SWT selain syari’at islam secara kaffah. Allahu A’ lam bi shawab
0 Komentar