Masih ingat kisah legenda sarip tambak oso?
Ya, kisah seorang pemuda pemberani yang berjuang melawan penindasan pemerintah kolonial yang semena mena terhadap rakyat kecil.
Ya... penindasan, tanah, pajak.
Kisah legenda yang wajib jadi renungan.
Akhir akhir ini sering kita dengar perbincangan tentang pajak, dimana pemerintah akan menerapkan pajak disegala lini, termasuk pedagang kecil dipinggir jalan.
Pajak merupakan pendapatan terbesar APBN dan pajak satu satunya harapan pendapatan.
Apakah itu rakyat kecil atau orang miskin, semua wajib kena pajak.
Penerapan banyak pajak dan juga kenaikan harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi, membuat rakyat menjerit dan sengsara.
Kesejahteraan, kemakmuran rakyat terabaikan dan negara ingkar akan kewajibannya. Khususnya memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya.
Kekayaan alam, tanah dan laut negeri ini sungguh melimpah, dan membuat iri negeri lain.
Sampai group band koes plus dalam liriknya mengatakan tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Sungguh melimpah ruah sumber daya alam kita.
Tapi, kemana hasil sumber daya alam kita? Bukankah dengan hasil kekayaan alam ini, negari ini lebih lebih untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat?
Tapi faktanya justru terbalik, rakyat terus dipajaki dan terus dijadikan sumber peningkatan laba.
Pajak rakyat seolah olah menjadi sumber penghidupan negeri ini.
Kami geram, kami marah mengapa negeri ini terus mengikuti sistem yang bukan islam?
Bukankah islam telah membuktikan kejayaannya selama 14 abad yang lalu mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya.
Kok malah meniru sistem yang bukan islam
Bukankah pajak itu warisan romawi dan persia? Dan keduanya hancur dan tidak dibela dan didukung rakyatnya dikarenakan karena terus menindas, dan mencekik pajak.
Jadi sebelum bertambah parah dan hancur negeri ini, beralihlah ke islam, hanya islam yang bisa mengatur negeri ini dan mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya.
Atau kami akan menuntut dan menjadi sarip tambakoso.
0 Komentar