Oleh: Ki Tanggul
Nampaknya tidak segera diambinya kebijakan Lockdown oleh pemerintahan pusat lambat laun terkuak. Diiringi oleh diambilnya kebijakan Lockdown oleh berbagai daerah dan institusi sebagai bentuk respon tidak efektifnya Social Distancing. Bahkan kecenderungan bukan hanya Social Distancing melainkan Herd Immunity sebagai solusi begitu semerbak aromanya.
Di tengah tuntutan dan protes dari berbagai pihak. Termasuk IDI yang sejak awal merekomendasikan Lockdown. Per tadi malam 26 Maret 2020 TV One merilis sudah 893 kasus dan 79 meninggal diantaranya. Meningkat tajam dari yang sebelumnya 780 kasus dan 58 meninggal per 25 Maret 2020.
Santer berkembang info di medsos berbagai kemungkinan sangat miris terhadap Pandemik ini.
Di antaranya tentang Riset Australia yang menyebut data update perkembangan virus mematikan di Indonesia itu unpredictable karena kurangnya transparansi dan sulitnya akses terhadap interaksi manusia yang relatif longgar. Keadaan ini akan berpotensi pada tidak terukurnya jumlah populasi yang terinfeksi.
Rapid Tes Massal hanyalah Seleksi bukan Solusi. Apalagi Social Distancing hanya menjadi sanksi sosial saja bersifat himbauan. Meski sudah mulai ada penegasan dengan pendekatan law of enforcement di beberapa daerah.
Beredar juga info tentang raibnya 20 juta pengguna ponsel di China seolah menguak apa sebenarnya fakta di balik peristiwa Pandemik Corona yang misterius.
Dan yang paling mengejukan adalah video ungkapan seorang pakar yang menyebut bahwa potensial terinfeksi virus angkanya bisa mencapai jumlah ratusan juta jiwa.
Di tengah seruan Donald Thrump yang mendorong kepada G7 dan G20 agar memberikan sanksi Internasional kepada China karena dicap sebagai biangnya virus wabah dunia tersebut.
Seolah menggambarkan bagaimana suasana asimetris war follow up dari currency war dan trading war ke biological war.
Menjadi teringat prediksi NIC AS yang menyebut 2020 sebagai tahun yang memunculkan beberapa trend global.
Pertama, masih tetap dominannya Amerika sebagai adi daya dunia meski pengaruhnya melemah karena peran China.
Kedua, munculnya China sebagai kekuatan baru adidaya menyaingi China.
Dan ketiga, berubahnya tata dunia baru yang menghapus dominasi negara adi daya dengan munculnya the new caliphate sebagai adi daya baru dunia.
Hersubeno Arief di dalam tulisannya yang beredar di medsos berjudul Pemerintah mulai jujur tidak punya duit ? menguak tidak segeranya Lockdown diambil sebagai kebijakan nasional.
Di tengah begitu gencarnya buzzer pemerintah membangun narasi begitu bahayanya kebijakan Lockdown dengan menguak fakta penjarahan sosial akibat Lockdown di India di antaranya.
Hersubeno menyebut faktornya adalah karena tidak ada duitnya dalam APBN. Hingga beredar info bahwa Sri Mulyani yang banyak kalangan menyebut sebagai SPG nya IMF dan World Bank sedang membuka donasi bantuan war on covid-19 pada para pengusaha dalam kapasitas Sri sebagai Sekjen Gugus Tugas Pelaksana Penanggulan Bencana Non Alam Nasional.
Ironisnya alasan tidak punya duitnya pemerintah di saat pemerintah getol menggelontorkan rupiah sejumlah 300 triliun untuk penyelamatan rupiah, bayar pokok dan bunga hutang yang jatuh tempo, dan rencana IKN yang diprediksikan menghabiskan 500 triliun.
Hingga membuat reaksi keras netizen karena dianggap abai dengan kondisi kekinian. Yakni Pandemik Corona setelah sebelumnya dipenuhi oleh berbagai sengkarut masalah mulai dari hasil pilpres diduga penuh dengan kecurangan TSMB yang telah menelan korban sekitar 700 kpps hingga terkonfirmasi sekarang dugaan komisioner KPU yang terlibat kecurangan.
Dilanjut dengan dugaan mega korupsi Jiwasraya dan Asabri yang menyisakan PR tuntutan terhadap revisi UU KPK hingga memunculkan reaksi aksi protes mahasiswa mahasiswa dan pelajar secara meluas.
Dan terakhir bahasan tentang RUU Omnibus Law bak layaknya Pukat Harimau yang berpotensi memberikan ruang lebar lebar Presiden untuk Abuse Of Power atas nama legislasi.
Yang dikhawatirkan adalah apa yang dilukiskan oleh Dahlan Iskan dalam salah satu tulisan berjudul Paskah Open, 26 Maret 2020. Dahlan mengisyaratkan tentang kemungkinan Herd Immunity sebagai patron solusi karena hendak dicobakan di Amerika.
Seperti mengingatkan tulisan Rendry Saputra berjudul Herd Immunity dan Konsekuensi yang nampaknya sebagai anti tesa sangat murah sebagai solusi Anti Lockdown.
Dahlan menyebut bahwa Donald Thrump dalam hal ini penganut paham Anti Lockdown dan Anti Social Destancing.
Masih menurut Dahlan sedang Bill Gete adalah penganut paham Anti Populasi. Seolah mengingatkan lagi bahasan lama tentang Bonus Demografi yang menguak bagaimana skenario solusi terhadap over population dunia.
Dan merimender lagi statement mantan Menhan Tiongkok tentang strategi ekspansi dalam kerangka pengendalian populasinya yang menempati urutan jumlah penduduk terbesar dunia setelah India.
NIC AS juga mencatat potensi India sebagai adi daya dunia dari aspek populasi. Meski perannya dalam percaturan dunia tidak sedominan China dengan strategi obor nya. Yang dirubah menjadi BRI demi pencitraan agar bisa diterima oleh publik dunia.
Pertanyaannya adalah apakah di antara elit penguasa dan elit politik negeri ini memiliki pandangan yang sama dengan elit politik dan elit penguasa adi daya dunia.
Jika melihat narasi yang dibangun sebelum Pandemik Corona ini sedemikian mengglobal. Narasi tentang war on radikalisme. Yang menganggap radikalisme sebagai kontraproduktif dengan arah dan tujuan pembangunan. Bahkan agama dianggap sebagai hambatan nasional. Konstitusi di atas kitab suci.
Narasi yang membangun argumentasi bahwa hanya mereka mereka yang potensial pada usia produktif saja yang layak eksis. Usia tua non produktif hanya menjadi beban. Apalagi jika yang memiliki pandangan Anti Populasi demi kepentingan ekonomi.
Menakar kemungkinan Lockdown sebagai kebijakan nasional solusi atas Pandemik Corona, Hersubeno mengisyaratkan ini hanyalah soal political will saja.
Jika saja pemerintah mau mengalihkan prioritas dalam beberapa bulan ke depan fokus pada wabah yang mendera ini.
Mengalihkan prioritas duit dari bayar hutang dan bunga, mengalihkan prioritas dari dana untuk IKN, dan mengalihkan prioritas dari dana penyelamatan rupiah.
Selain itu mengelola dana dari orang orang yang memiliki duit di bank dalam negeri sebagaimana catatan Ditjen Pajak yang jumlah ratusan ribu rekening. Jika ditotal duitnya sejumlah Rp. 5.984,42 triliun.
Belum lagi yang diungkap oleh Prabowo Subianto dalam kampanyenya duit para konglomerat yang disimpan di luar negeri sejumlah Rp. 11.000 triliunan. Sejumlah total duit melebihi angka APBN 2020 sejumlah Rp. 2.540 triliun.
Sejauhmana pemerintah berani mengambil kebijakan Lockdown sangat ditentukan oleh sejauhmana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat bukan pada pengusaha atau investor sebagaimana ditunjukkan pada penampakan kebijakan publik.
Membangun narasi penyelamatan ekonomi sebagai alasan Social Distancing karena Lockdown akan mematikan sektor ekonomi kecil dan menengah pada hakekatnya pengaburan makna dari realitas sebenarnya tidak berdayanya menghadapi kuasa kapitalis.
Benar adanya jika negara ini sudah mewujud menjadi the corporate state. Langkah Lockdown daerah bisa dipahami sebagai berlepasnya pusat akan kendali persoalan secara nasional.
Problem war on corona dengan eksistensi rezim dan sistem yang ada dihadapkan oleh problem sistemik.
Pilihan political will Lockdown yang berpihak pada penyelamatan nyawa rakyat banyak sangat ditentukan oleh basis sistem ideologi yang mencakup ipoleksosbudhankam yang diambil.
Kebijakan yang bercorak neo liberal hanya bentuk cerminan ketergantungan ideologi negara menginduk pada patron ideologi kapitalis liberal global.
Saatnya sadar nasional untuk melihat secara jernih konstelasi global yang sedang menunjukkan kecenderungan perubahan tata dunia baru.
Yakni kecenderungan ambruknya tata dunia baru oleh sistem kapitalisme menuju kepada tata dunia baru oleh Islam sebagaimana tersurat dalam kitab suci.
Dimana posisi Pancasila sebagai ideologi negara yang digembar gemborkan selama ini jika begitu ? Kata Cak Lontong. Mbok mikir. Mikir. Salam Akal Sehat. Allahu a'lam bis showab. []
0 Komentar