Berawal tertangkapnya Puput Tantriana Sari, Bupati Proboliggo pada hari senin(30/8/2021) dalam OTT yang dilakukan oleh KPK menjadi pengurai benang kusut terjadinya “Politik Dinansti” dikota ini. Lambat laun tapi pasti,bau bangkai yg tersimpan rapi pasti akan tercium juga oleh aparat penegak hukum.
Selain Bupati Probolinggo, peristiwa ini menyeret mantan Bupati sebelumnya yang juga anggota DPR sekaligus suaminya, Hasan Aminuddin dari Fraksi Partai NasDem. Menurut Almas Ghaliya Putri Sjafrina, Peneliti-ICW menilai hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi dari jajaran pemerintah maupun kepala daerah belum menjerakan dan berdaya cegah serta belum memberi efek jera sehingga kerap kali keluar dari rumah tahanan mereka bisa dipilih kembali.
“Sementara vonis yang diberikan sangat rendah, pun tuntutannya juga rendah 7 tahun 5 bulan. Belum termasuk pencabutan hak politik kepala daerah, tindakan pencucian uang dan lain-lain masih sangat rendah,”tambahnya.
Lebih lanjut, kajian ICW agar kedepan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat setara Kepala Daerah yang notabene mereka dipilih lansung oleh publik bisa maksimal kemudian mampu memberi efek daya cegah dan menjerakan. Dari kejadian atas Bupati Probolinggo setidaknya ada 3 fenomena yang bisa diperhatikan:
1) Budaya korupsi di kalangan pejabat masih sangat tinggi.
2) Mahar atau jual beli jabatan setara kepala dinas atau PJS Kepala Desa dan lain2 masih marak.
3) Dinasti politik masih mengakar sehingga rentan membawa masalah terhadap perilaku-perilaku koruptif atau bahkan pemerintahan yang tidak efektif.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana upaya pencegahan terhadap tindak perilaku korupsi di Indonesia meski pembahasan fokus di Probolinggo. Setidaknya bisa dilakukan melalui perubahan sistem atau penegakan hukum terhadap pelaku.
Menurut kajian ICW Perubahan sistem harusnya berjalan head in head yaitu dengan pembenahan sistem demokrasi karena bila suatu negara tidak menganut sistem demokrasi bukan berarti negara tersebut bersih dari tindak korupsi.
“Secara teori korupsi berkembang tumbuh subur ketika negara hanya dikuasai oleh segelintir orang transparasi, pemerintahan tidak ada, hak politik publik atau masyarakat tidak ada kalaupun ada minim sekali,”tegasnya.
Lalu, terhadap penegakan hukum ia menilai bahwa hukuman terhadap tindak korupsi oleh kepala daerah vonisnya masih sangat rendah dan tuntutanya juga rendah, yaitu kisaran 7 tahun penjara. Penetapan TTPU masih jarang, pencabutan hak politik juga jarang, sehingga mantan narapidana kasus korupsi setelah keluar dari penjara bisa masuk ke dalam partai politik untuk dicalonkan kembali dalam kontes pilkada atau mencalonkan diri dalam pilkada kemudian memimpin sebuah partai politik.
Kemudian, “yang penting dilakukan adalah mencabut hak politik dan memiskinkan korupsi agar menjerakan mereka. Jangan sampai pengganti kepala daerah terjebak pada kasus yang sama sebagai mana yg terjadi didaerah Riau. Selain itu juga harus ada reformasi birokrasi, partai politik dan kepemiluan,”tandas Almas.
0 Komentar