PKAD—Dalam sebuah diskusi bertajuk “Permenkes No. 52 Tahun 2016 Nakes Sejahtera atau Sengsara?” dalam kanal youtube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Beni Satria menyampaikan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sudah mengalami tiga kali perubahan.
“Perubahan pertama ditetapkan pada 18 Oktober 2016 yaitu Permenkes No. 52 Tahun 2016. Sebulan kemudian terjadi perubahan menjadi Permenkes No. 64 Tahun 2016, lalu terjadi lagi perubahan di tahun 2018 menjadi Permenkes No. 06 Tahun 2018,”ungkapnya.
Beni Staria menjelaskan, pada klausul Menimbang, standar tarif pelayanan kesehatan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di susun oleh Menteri Kesehatan, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), serta menteri penyelenggara urusan pemerintahan bidang keuangan dengan catatan memperhatikan kecukupan anggaran.
“Tetapi dalam klausul ini ternyata tidak melibatkan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan yang lainnya,”sesalnya.
Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi Sumatra Utara ini juga menyoroti Permenkes No. 06 Tahun 2018 yang semuanya berisi tentang standar tarif pelayanan kesehatan dan isinya lebih kepada pelayanan rawat jalan eksekutif yang diperbolehkan untuk menutupi kelemahan dari sisi biaya.
Berkenaan dengan biaya rawat pasien JKN. Subsidi biaya layanan tarif umum jika dibandingkan dengan paket tarif INA-CBGs ternyata sangat besar. Subsidi pelayanan rawat inap terkait tarif dalam Permenkes No. 52 Tahun 2016 mencapai 21,45 persen. Wajar jika akhirnya beberapa rumah sakit kolaps atau tutup.
Kemudian, jika dikomparasikan berdasarkan paket tarif rawat jalan INA-CBGs dan tarif umum, hampir sama kondisinya, rumah sakit harus melakukan subsidi khususnya untuk kesuluruhan pelayanan di rawat jalan. Secara total keseluruhan, rumah sakit sampai harus memberikan subsidi 9,54 persen. Karenanya Beni Satria berpendapat bahwa permenkes ini harus dilakukan revisi.
0 Komentar