Ketika banyak orang perhatiannya tertuju pada hasil quick count Capres-Cawapres, saya membaca ada hal menarik pada hasil quick count Partai Politik yang dirilis Litbang Kompas update 14/02/2024 pkl. 22:08 WIB. Pemilu kali ini diprediksi dimenangi kembali oleh PDIP. Disusul partai sekular lainnya seperti Golkar dan Gerindra. Hanya 8 partai politik yang diprediksi lolos parlemen, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PKS, Demokrat, dan PAN.
Adapun partai lainnya tidak lolos ke parlemen karena tidak melampaui ambang batas parlemen alias parliamentary threshold sebesar 4%. Partai tersebut seperti Partai Gelora, Hanura, PBB, PSI, Perindo, dan Partai Ummat.
Lalu dimana posisi partai politik (berbasis massa) Islam? Sejak pemilu tahun 1955, tidak ada partai Islam yang menduduki posisi puncak. Meski kita memiliki kebanggaan pada Masyumi yang hadir dengan kegigihannya dalam membawa visi dan misi Islam. Adapun setelahnya, PPP hadir dengan pasang surutnya. PPP memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia, namun seiring waktu, ideologinya mulai luntur, bahkan nyaris tak bersisa. Tidak bisa dibedakan lagi dengan partai sekular, kecuali lambangnya.
Terkait identitas, kita bisa merujuk asasnya pada AD/ART partai. PKB dan PAN tidak dapat dikatakan partai Islam, melainkan hanya berbasis massa umat Islam. Adapun PKS meskipun asasnya Islam, tetapi sebagai partai terbuka, menerima keanggota non-muslim dan tidak secara jelas memperjuangkan konstitusi Islam. Adapun PBB, PPP, partai Ummat tidak masuk radar bahasan karena diprediski tidak lolos ke parlemen.
Merujuk pada al-Quran surat Ali Imran ayat 104, kriteria partai politik Islam setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Asasnya akidah Islam
2. Keanggotaan dari kalangan umat Islam
3. Ikatan anggota adalah akidah yang kokoh dan ketaatan pada pemimpinnya
4. Menyerukan kepada penerapan Islam, dan melakukan amar makruf dan nahi munkar, termasuk aktivitas mengoreksi penguasa.
Kendali di parlemen sangat penting, karena semua masalah di negeri ini berawal dari produk Undang-undang (UU) yang dihasilkan di parlemen. Masalah tersebut adalah UU yang berpihak pada pemiliki modal dan pengusaha, mengabaikan kepentingan rakyat, dan yang paling penting adalah penetapan hukum bukan berdasarkan apa yang Allah turunkan.
Penjelasan al-Arif Billah Ibnu Atha'illah as-Sakandari dalam Kitab At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir hlm. 31-32 pada penjelasan QS. An-Nisa: 65 menarik untuk disimak. Beliau menjelaskan beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Wajibnya berhukum (bertahkim) pada keputusan Nabi dalam perkara yang diperselisihkan.
2. Wajibnya melenyapkan keberatan (haraj) dalam hati, artinya ada kesiapan bertahkim lahir dan batin.
3. Berserah diri (taslim) secara total pada semua perkara, bukan pada perkara yang sedang diperselisihkan saja.
Jadi tidak ada ruang lagi bagi manusia untuk menentang ketetapan dan hukum Allah yang ditetapkan kepada manusia. Jangankan menentang, ada keberatan saja tidak boleh. Jangankan keberatan atas putusan Allah, tidak pasrah pada semua urusan saja tidak boleh.
Jika pada akhirnya PKB dan Nasdem merapat kepada penguasa (dengan asumsi 02 menang pemilu), maka tidak aka ada lagi check and balance, karena mereka menguasai lebih dari 50% suara parlemen. Adapun PKS dan PDIP mungkin akan mengambil posisi sebagai opisisi, meski PDIP lebih karena sakit hati dan merasa dikhianati. Karena wajah asli PDIP adalah seperti yang dipertontonkan 10 tahun ke belakang. Adapun PKS termasuk yang konsisten mengambil jalan oposisi.
Penguasa selalu ingin amankan parlemen dan tidak semua partai tahan godaan jabatan. Ini akan menjadi titik temunya. Titik temu kepentingan. Artinya, trias politica model bukan hanya batil, tetapi juga absurd dan model tidak dikehendaki oleh rezim dan para oligarki.
Partai politik Islam sulit berkembang dalam iklim demokrasi yang -katanya- membuka ruang kebebasan, namun tidak untuk Islam. Jika pun ada partai politik yang berasaskan Islam dan memperjuangan penerapan syariat Islam, tetap akan sulit mendapat dukungan dari umat jika absen dalam melakukan pendidikan politik umat setiap harinya, day to day political education.
Kualitas umat tidak akan beranjak naik tanpa pendidikan politik Islam. Lihat pemilu 2024, selain faktor dukungan kekuasaan, modal, dan dugaan kecurangan, juga karena kualitas rakyatnya. Rakyat lebih tertarik dengan bansos, makan siang gratis, asyik dengan lagu "ok gas ok gas" ala Richard Jersey dan gemoy dance.
Akhirnya kita harus sadar bahwa sistem demokrasi tidak akan memberikan peluang pada partai politik Islam untuk berkontestasi dalam memperjuangkan penerapan hukum Islam. Demokrasi bukan jalan perubahan, terlebih jalan menuju kehidupan Islam. Jalan demokrasi bukan hanya terjal, namun juga jalan yang utopis.
15 Februari 2024
0 Komentar