Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Aksi dugaan perundungan kembali ramai menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Sebuah video yang beredar terjadi di Kota batam, Kepualauan Riau, memperlihatkan seorang remaja wanita, terlihat cekcok dengan sejumlah teman sebayanya menjadi viral di media sosial. Terkait hal ini, Kasi Humas Polresta Barelang AKP Tigor Sidabariba membenarkan insiden dugaan perundungan tersebut, berdasarkan laporan yang diterima dari pihak korban, sebanyak empat terduga pelaku telah ditangkap. (liputan6.com, 03/03/3034)
Kapolresta Barelang, Kombes Nugroho Tri mengatakan, empat pelaku tersebut, yaitu N(18), RRS(14), M(15), dan AK(14) ternyata masih di bawah umur. Akibatnya menurut hukum peradilan anak, sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang lebih rendah, mengingat mereka masih di bawah umur. Model sistem peradilan seperti ini, merujuk pada definisi anak adalah di bawah usia 18 tahun, sehingga kondisi ini menjadi celah banyaknya kasus bullying yang tak membuat jera pelaku. (tribunnews.com,02/03/2024)
Jika kita amati berbagai kasus bullying di kalangan remaja, sebenarnya tidaklah muncul begitu saja. Melainkan ada beberapa faktor yang memengaruhinya, salah satunya adalah akibat sistem kehidupan sekuler yang diterapkan di Negeri ini. Dalam sistem sekuler, kurikulum yang dibangun tidak menempatkan penanaman akidah Islam sebagai basis membentuk karakter kepribadian anak. Akibatnya, lahirlah generasi yang miskin akidah, niradab, dan jauh dari aturan agama. Oleh karenanya, jika bullying merupakan “dosa besar pendidikan”, maka sekularisme adalah biang keladi munculnya dosa besar tersebut.
Sekularisme ini telah menyemai setidaknya dalam tiga ruang hidup tempat generasi tumbuh. Pertama, keluarga sebagai pendidikan pertama bagi anak-anak. Sekularisme telah menjauhkan anak anak dari fondasi dan aturan Islam, banyak kita dapati orang tua yang lalai menanamkan keimanan dan ketaatan kepada Allah Taala pada anak anak mereka. Akibatnya, anak tidak memiliki contoh dan keteladanan sikap yang baik kepada sesama dan orang lain. Lihat saja kondisi generasi kita yang sangat jauh dari adab mulia. Mereka tumbuh dengan nilai-nilai sekuler yang hanya mementingkan materi, sehingga kehidupan liberal dan hedonistik menjadi kiblat mereka dalam berperilaku. Kedua, lingkungan menjadi tempat paling mudah memengaruhi generasi. Lingkungan yang terbentuk dari nilai sekuler, menjadikan perilaku baik bisa menjadi buruk lantaran terpengaruh lingkungan sekitar. Budaya amar makruf nahi mungkar hampir tidak terlihat dalam masyarakat sekuler, karena budaya individualis, egois, dan apatis pada masyarakatlah yang terbentuk dalam sistem sekuler kapitalistik. Ketiga, nihilnya peran Negara menjaga generasi dari kerusakan yang dapat dilihat dari tiga indikator.
Ketiga indikator nihilnya peran Negara dalam menjaga generasi tersebut diantaranya: Pertama, mandulnya perangkat hukum. Meskipun sudah banyak produk hukum yang diregulasi dalam rangka mencegah dan menangani kasus bullying, seperti UU Perlindungan Anak. Namun, perangkat hukum ini tidak pernah mampu mencegah bullying yang terus berulang. Kedua, kurikulum pendidikan yang diterapkan Negara selama ini, terbukti gagal mewujudkan generasi saleh dan salihah. Kurikulum hari ini sarat dengan nilai-nilai sekuler, bahkan sekolah hanya dianggap sebagai tempat meraih prestasi akademik, tetapi kering dengan prestasi spiritual. Meski banyak berdiri sekolah agama, pada faktanya tidak mampu membendung gempuran sistem sekuler yang telah mengakar lama. Akhirnya, perilaku generasi rusak dan mereka kehilangan jati dirinya. Ketiga, kegagalan Negara dalam membendung segala tontonan yang merusak generasi. Betapa banyak tontonan tidak layak bertebaran di media sosial maupun visual, yang diproduksi massal lewat film-film remaja bertemakan cinta, persaingan, permusuhan, dan sebagainya. Alhasil, tontonan mereka berubah menjadi tuntunan, bahkan bagi pengguna gawai yang kebablasan, mereka akhirnya mendapatkan informasi yang tidak seharusnya diterima pada usia yang masih labil.
Sejatinya ketiga komponen tersebut harus saling bersinergi dan sinergisitas, hal ini hanya akan terwujud tatkala Negara melakukan perannya dengan baik. Sebagaimana dahulu saat Islam diterapkan, tatanan kehidupan masyarakat benar-benar teratur dan berhasil mewujudkan individu dan masyarakat yang berbudi luhur. Negara dengan sistem Islam memiliki beberapa langkah pencegahan dan penanganan untuk mencegah bullying, yaitu: Pertama, peran Negara, dalam hal ini, kurikulum pendidikan didasarkan pada akidah Islam. Menanamkan akidah Islam sejak dini menjadi modal utama. Anak yang beriman kuat tidak akan melakukan hal-hal yang Allah haramkan. Pandangan yang disajikan dalam media pun juga bebas dari kekerasan, pelecehan, maksiat, dan segala yang dilarang oleh Islam. Negara dalam Islam akan menutup segala akses yang menyimpang dari tujuan pendidikan Islam. Kedua, peran masyarakat dan sekolah. Masyarakat Islam membiasakan budaya amar makruf nahi mungkar. Mereka adalah pemantau dan pengawas perilaku masyarakat. Adapun sekolah juga menerapkan kurikulum berbasis Islam. Pada masa peradaban Islam, guru mendapatkan upah yang tinggi, sehingga mereka fokus mendidik generasi penerus dengan baik. Ketiga, peran keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak. Orang tua tidak akan terbebani dengan biaya pendidikan, sebab Negara memfasilitasi pendidikan secara gratis bagi rakyatnya.
Negara di sistem Islam akan membuka peluang kerja bagi laki-laki sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu hanya fokus pada perannya sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya, alhasil ibu tidak akan terbebani oleh masalah ekonomi. Sementara itu, jika ada kasus bullying yang terjadi, maka Negara akan menerapkan sanksi tegas, sehingga mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Tidak ada perbedaan hukum antara pelaku kekerasan baik remaja maupun dewasa. Dalam Islam, tidak ada istilah anak di bawah umur, karena ketika anak sudah baligh, ia menjadi mukalaf dan sudah menanggung segala konsekuensi taklif hukum yang berlaku dalam syariat Islam. Demikianlah beberapa tindakan pencegahan dalam Islam untuk menangani kasus bullying.
Namun dalam kacamata sekularisme, anak yang sudah baligh, tetap dikatakan “anak” jika di bawah usia 18 tahun. Paradigma semacam itu akhirnya membuat remaja kurang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Kedewasaan dirinya tidak terbentuk karena selalu dianggap “anak-anak”. Coba bandingkan ketika Islam menjadi landasan dalam kurikulum pendidikan keluarga dan sekolah, mereka akan mendapat pemahaman mengenai fase usia baligh terkait tanggung jawab, taklif hukum, serta konsekuensi segala perbuatannya. Oleh karenanya, bullying bisa dihentikan dan diakhiri hanya dengan mengubah paradigma pendidikan serta menerapkan sistem Islam secara kafah, ini karena Islam memiliki lapisan pelindung terhadap bullying, yakni akidah, syariat, dan sistem sanksinya. Wallahualam bisshowab
0 Komentar