Oleh: Esnaini Sholikhah, S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
Penistaan agama kembali terjadi, terutama terhadap Islam. Beredar video seorang pria menginjak Al-Quran saat bersumpah di hadapan istrinya. Pria yang mengenakan sarung tersebut membantah berselingkuh dan melakukan sumpah dengan Al-Quran agar istrinya percaya. Setelah ditelusuri, pria yang ada dalam video adalah pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas sebagai Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke. Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Cecep Kurniawan, menyatakan bahwa sebelum dilaporkan atas kasus penistaan agama, Asep Kosasih juga dilaporkan atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Asep Kosasih telah dibebastugaskan sementara sejak terlibat kasus KDRT (Tribunnews, 18/5/2024).
Bukan cuma sekali, sebelumnya pada tahun 2023 seorang selebgram, Lina Mukherjee, mengucapkan bismillah saat makan daging babi di kontennya. Masih di tahun yang sama, seorang bule Australia meludahi imam masjid di Bandung, dan di tahun 2024 ini, ada YouTuber yang menyebut Nabi Muhammad ﷺ sebagai pengikut jin. Ada pula komika yang menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan dan kelakar dalam konten media mereka. Kebanyakan objek penistaan tersebut menjurus kepada Islam, bukan agama lain. Lalu mengapa negara seakan tumpul dalam mencegah penistaan agama terjadi?
Inilah yang terjadi jika sistem hidup kapitalisme diterapkan di negeri ini. Sistem sekulerisme menumbuhsuburkan dan meniscayakan penistaan tersebut. Dalam sistem ini, kitab suci dianggap seperti barang lain yang tak berharga. Landasan hukum yang dipakai oleh ideologi kapitalisme menjadikan kebebasan sebagai asas. Inilah yang tidak dipahami oleh masyarakat. Akibatnya, masalah ini tidak akan selesai hingga sistem kapitalisme ini dijauhkan dari masyarakat. Sekulerisme dengan asas kebebasan ini kemudian dibungkus dengan ide HAM, sehingga "Siapa pun bebas berbuat, bahkan melecehkan agama sekalipun." Tampak di negara asal ide ini, yakni di negara-negara Barat, ide kebebasan yang dibungkus HAM membuat mereka bebas memperlakukan agama, baik agama mereka sendiri ataupun agama orang lain sesukanya. Pemerintah di Barat pun membiarkan masyarakatnya menghina dan merendahkan agama Islam, seperti menghina Nabi Muhammad SAW, menginjak-injak Al-Qur'an, membakarnya, dan yang lainnya. Terlebih, polisi dikerahkan untuk menjaga sang penista agar tidak diserang umat Islam. Menista agama saja boleh, apalagi hanya mengolok-olok agama, menjadikan agama sebagai bahan candaan, justru akan dibiarkan dengan dalih kebebasan berpendapat.
Ide liberalisme mereka jajakan melalui banyak media, yaitu fun, film, dan fashion. Melalui film, tayangan-tayangan, buku-buku bacaan, musik, atau berbagai acara lainnya seperti stand-up comedy dan sebagainya, mereka hendak mengirim gaya hidup liberal tersebut ke negeri ini. “Inilah perang budaya, ghozwu ats-tsaqafy.” Selain itu, sistem sanksi yang lemah dan tidak menjerakan juga berperan dalam membuat maraknya penistaan agama. Contohnya, kasus penistaan yang dilakukan komika Coki Pardede saat menjadikan kisah Nabi Ibrahim sebagai bahan bercanda. Ia selalu berdalih dan membantah tidak melakukan penistaan dan olok-olokan. Itu hanya berakhir dengan permintaan maaf semata tanpa ada ketegasan hukum bagi orang yang tidak menghormati agama orang lain. Dalam KUHP Pasal 156a, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan penistaan agama di Indonesia dapat dikenakan hukum pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun jika perbuatan dilakukan di muka umum atau selama-lamanya 6 (enam) tahun jika penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik.
Setiap muslim wajib melindungi agamanya dari segala bentuk pelecehan, penistaan, atau apa pun itu namanya. Bukan muslim namanya jika kita diam saja melihat agama kita dihina. Karena penistaan ini marak di media sosial, maka kita pun harus melakukan pembelaan di media sosial. Siapa pun yang mengolok-olok Allah, Al-Qur'an, termasuk syariat (aturan dan hukum) yang ada di dalamnya, jika dilakukan oleh muslim, maka termasuk tanda-tanda riddah atau murtad. Jika dilakukan berulang, maka jelas pelakunya telah keluar dari agama Islam, menurut QS At-Taubah ayat 65-66:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah, Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok.”
Adapun jika pelakunya umat nonmuslim, maka juga harus dihukum. Mereka, baik pelakunya muslim maupun nonmuslim, harus dihukum dengan hukum Islam. Tak cukup hanya dengan permohonan maaf karena itu tak membuat jera. Para pelaku harus dihukumi dengan hukum Islam. Tentu saja, negara dalam hal ini pemerintah yang harus memberikan hukuman tersebut. Namun, mampukah negara yang menerapkan sistem kapitalisme melakukan itu?
Kita bisa melihat faktanya negara yang mampu melakukannya dan punya komitmen untuk menjaga dan melindungi agama dari segala bentuk penistaan ataupun pelecehan hanya Khilafah Islamiyah. Untuk itu, umat butuh Khilafah sehingga harus ada upaya mewujudkannya segera. Khilafah akan menjadi kekuatan besar yang melindungi agama Allah dan izzul Islam wal muslimin. Dengan seluruh sistem Islam yang ada, Khilafah akan mengedukasi umat agar tepat bersikap terhadap agamanya. Wallahu a'lam bisshowab.
0 Komentar