Remisi Napi, Bukti lemahnya Sistem Sanksi saat ini.
Salsabila (Pemerhati Pemuda)
Beberapa waktu lalu, sebanyak 1.107 narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nunukan, Kalimantan Utara, mendapat remisi umum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI pada Sabtu (17/8/2024). Sebanyak 12 orang di antaranya langsung bebas (Kompas.com, 17/08/2024).
Dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 1.750 orang narapidana juga mendapatkan remisi I pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI. Dari jumlah tersebut, 48 orang di antaranya langsung bebas (metro.tempo.co, 18/08/2024).
Remisi Bersifat Subjektif
Sejarah remisi berawal pada masa Hindia Belanda yang diberikan kepada narapidana dalam rangka merayakan hari ulang tahun kelahiran Ratu Belanda tanggal 10 Agustus 1935. Artinya hanya bersifat subjektif dan sesuka hati negara (Ratu Belanda) yang sedang baik hati.
Aturan remisi pertama kali adalah Kepres No. 156 Tahun 1950 perihal Pembebasan Hukuman untuk Seluruhnya atau untuk Sebagian Tiap-tiap Tanggal 17 Agustus. Narapidana sesuai Kepres No. 156 Tahun 1950 Pasal 1 ayat (2) dapat ditambah remisinya jika melakukan hal yang berjasa bagi negara, orang yang melanggar peraturan Hindia Belanda atau peraturan Jepang yang tidak lagi diancam dengan hukuman dan pembebasan (remisi) terkait hal-hal penting bagi negara.
Peraturan remisi berikutnya adalah Kepres No. 5 Tahun 1987 tentang Pengurangan Menjalani Pidana (Remisi). Selain remisi terkait hari kemerdekaan, narapidana sesuai Kepres No. 5 Tahun 1987 pasal 1 ayat (2) dapat ditambah remisinya jika berbuat jasa bagi negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan dan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan dinas Lapas.
Peraturan remisi yang terakhir dan masih berlaku saat ini adalah Kepres No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi. Kepres ini merupakan peraturan remisi yang lahir setelah berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pada Kepres No. 174 Tahun 1999 dikenal tiga nama remisi yaitu Remisi Umum, Remisi Khusus dan Remisi Tambahan. Remisi Umum berkaitan dengan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Hukuman yang tidak menjerakan dan bermasalah
Remisi pada momen tertentu menunjukkan bahwa sistem sanksi yang ada di negeri ini tidak menjerakan pelaku kejahatan.
Akibatnya, kita temukan saat ini bentuk kejahatan semakin merajalela dengan cara yang beragam, sadis, dan mengerikan. Jika dahulu orang membunuh dengan cara biasa, kini marak orang membunuh dengan memutilasi korban. Begitu juga kriminalitas yang makin menakutkan. Kejahatan seksual juga makin parah.
Sistem sanksi yang tidak menjerakan ini berakibat hilangnya rasa takut pada pelaku kejahatan sehingga mereka berani melakukan kejahatan yang lebih besar.
Hukuman yang tidak menjerakan ini merupakan hasil dari sistem pidana yang bermasalah. Yakni, sistem hukum buatan manusia dan warisan dari hukum Belanda.
Diantaranya, Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) merupakan warisan Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) yang kemudian dinaturalisasi menjadi UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Saat ini, KUHP sudah mengalami perubahan berdasarkan UU 1/2023 tentang KUHP. Namun, perubahan ini tidak mengubah hakikat bahwa KUHP merupakan buatan manusia. Tersebab merupakan buatan manusia, sistem pidana yang menjadi rujukan pemberian sanksi ini bersifat tidak baku, mudah berubah, dan mudah disalahgunakan.
Sanksi Dalam Sistem Islam
Dalam memberantas tindak kejahatan, Islam memiliki mekanisme yang unik sehingga tingkat kejahatan sangat minim. Penerapan syariat Islam menjadi kunci dalam melindungi masyarakat dari kejahatan.
Ada tiga pilar penegakan hukum terwujud dengan sempurna, yaitu ketakwaan individu sehingga tercegah dari perilaku kejahatan, amar makruf nahi mungkar oleh masyarakat sehingga setiap ada kejahatan akan cepat terdeteksi dan pelakunya diingatkan untuk tobat, serta pemberlakuan sistem sanksi yang adil dan tegas oleh negara.
Dari sisi pencegahan, selain aspek ketakwaan individu, Negara juga menjamin kesejahteraan rakyat secara orang per orang, baik dengan jaminan langsung maupun tidak langsung. Jaminan langsung maksudnya negara menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis dan mudah di akses.
Sedangkan jaminan tidak langsung maksudnya negara menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya sehingga setiap lelaki dewasa bisa bekerja dan memperoleh penghasilan untuk menafkahi keluarganya. Sedangkan perempuan, anak-anak, dan lansia dalam posisi dinafkahi oleh walinya.
Selain itu, negara Khilafah menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang beriman dan bertakwa sehingga jauh dari kemaksiatan. Hal ini menjadi kekuatan internal bagi individu untuk melawan hawa nafsu dalam dirinya sehingga tidak tergoda untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan sanksi atas kejahatan, Islam memiliki sistem sanksi yang khas, tegas, dan menjerakan. Setiap kejahatan akan diberi sanksi yang tegas, baik berupa hudud, jinayah, takzir, maupun mukhalafat. Penjara tidak menjadi satu-satunya jenis hukuman. Kalaupun hukumannya, penjara, tidak ada pengurangan hukuman dari masa yang sudah hakim putuskan.
Sanksi yang tegas tersebut tersebut berfungsi sebagai jawabir (menebus dosa di dunia sehingga tidak diazab di akhirat) dan zawajir (pencegahan agar tidak ada tindak kejahatan serupa).
Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan akan memberikan kebaikan kepada alam semesta terutama bagi manusia. Sehingga manusia akan hmerasakan kehidupan yang tenang dan aman karena kejahatan sangat minim.
0 Komentar