Oleh : Esnaini SholikhahS.Pd
(Penulis dan Pengamat Sosial)
Pertamina kembali melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax (RON92) yang berlaku efektif mulai 10 Agustus 2024. "PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) Umum dalam rangka mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022, sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar, yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum," bunyi pengumuman Pertamina. (CNBC, 9/8/2024).
Sejumlah warga mengeluhkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi Pertamax yang mulanya Rp 12.950 per liter menjadi Rp 13.700 per liter. Seorang pengendara sepeda motor di kota Bogor bernama Rohati (43), misalnya, menilai bahwa kenaikan harga BBM membuat beban hidupnya semakin berat. Apalagi, pendapatan Rohati tidak sebanding dengan kenaikan biaya sehari-hari. “Kalau BBM sudah naik, biasanya harga barang-barang lain juga ikut naik. Saya semakin sulit atuh ya mengatur pengeluaran, mana pendapatannya tidak ada,” ujar Rohati saat diwawancarai Kompas.com, Minggu (11/8/2024). Warga lainnya bernama Risman (31) mengungkapkan, kenaikan harga Pertamax memaksanya untuk menghemat pengeluaran sehari-hari, termasuk mengurangi frekuensi bepergian menggunakan kendaraan bermotor. (Kompas.com, 11/8/2024).
Meski ‘penyesuaian’ harga BBM adalah jenis nonsubsidi, tetap saja kenaikan tersebut akan berimbas pada perekonomian rakyat. Menanggapi kebijakan tersebut, tiga catatan di bawah ini semestinya menjadi koreksi bagi penguasa. Pertama, dampak kenaikan BBM nonsubsidi memang tidak secara langsung kepada rakyat kecil, namun bisa dipastikan pada sektor yang lain. Mengingat sejauh ini Pemerintahan Jokowi dalam dua periode ini, sudah tujuh kali menaikkan harga BBM baik bersubsidi maupun nonsubsidi. Dan dampaknya inflasi besar-besaran, harga bahan pangan naik, TDL, PDAM juga naik.
Kedua, ganti Kepmen, ganti harga, begitu mudahnya menetapkan kebijakan dengan mengubah aturan. Ini mengindikasikan bahwa kebijakan bisa berubah jika aturan diubah. Demikianlah, sistem kapitalisme demokrasi meniscayakan hal ini, karena aturan dibuat sesuai kehendak dan kepentingan yang berkuasa. Kenaikan BBM hanya akan terhenti manakala sistem kapitalisme tidak lagi diterapkan dalam mengatur kehidupan.
Ketiga, pengguna Pertamax adalah bagian dari rakyat. Terlepas dari kemampuan finansialnya, rakyat mana pun berhak menikmati BBM murah. Minyak adalah kekayaan alam milik umum, siapa pun, baik orang kaya atau miskin, berhak mengaksesnya dengan murah, bahkan gratis. Namun, sistem pemerintahan model kapitalisme mustahil memberi harga BBM secara murah atau gratis. Ini karena paradigma kepemimpinan kapitalisme selalu mempertimbangkan untung dan rugi dalam menetapkan kebijakan. Hubungan penguasa dengan rakyatnya ibarat penjual dan pembeli.
Naiknya BBM non subsidi merupakan buah sistem kapitalisme yang menjadikan Negara sebagai regulator. Konsekuensinya terjadi liberalisasi dalam pengelolaan SDA yang membuka peluang investor untuk mengelolanya. Pengelolaan demikian hanya menguntungkan para kapital dan merugikan rakyat yang sejatinya pemilik SDA tersebut.
Fenomena kenaikan harga BBM yang kerap kali merugikan rakyat tidak akan pernah terjadi dalam sistem kepemimpinan Islam. Ini karena Islam menetapkan pengelolaan migas dalam prinsip-prinsip berikut. Pertama, migas adalah kekayaan milik umum. Ini segala sesuatu yang sifat kepemilikan harta milik umum tidak boleh dikuasai individu, swasta, asing, ataupun korporasi. Negara bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hingga pendistribusiannya. Hasil pengelolaan migas tersebut harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk harga BBM murah, bahkan gratis. Negara boleh memberi harga BBM kepada rakyat sebatas sebagai ganti operasional semata, bukan bertujuan untuk bisnis dan mencari keuntungan. Negara juga boleh memberikan BBM secara gratis selama pemasukan baitulmal mencukupi kebutuhan tersebut.
Kedua, hubungan penguasa dengan rakyat dalam Khilafah adalah ibarat penggembala dengan gembalaannya. Sebagaimana tugas penggembala, ia harus merawat dan mengurusi setiap keperluan gembalaannya. Tugas penguasa adalah melayani dan mengurusi setiap kebutuhan rakyat. Artinya, Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan baik, seperti kemudahan mendapatkan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan hajat publik lainnya semisal BBM.
Ketiga, tidak ada tujuan komersialisasi BBM seperti halnya pengelolaan BBM dalam kapitalisme. Dalam Khilafah, pengelolaan migas dan harta milik umum lainnya murni dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh berjual beli dengan harta rakyat. Dengan pengelolaan migas yang sesuai tuntunan Islam akan memberikan kemudahan tersedianya kebutuhan BBM. Dengan kepemimpinan sistem Islam secara kafah, Negara dapat menjalankan perannya sebagai raa’in dengan totalitas, tanpa tercampuri kepentingan tertentu.
Negara dalam islam berperan sebagai raa’in yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan penerapan sistem politik dan ekonomi islam dalam pengaturan SDA. Dengan konsep kepemilikan Islam, SDA akan dikelola Negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan Negara atas rakyat. Harga BBM pun dalam kendali Negara sehingga rakyat tidak akan menderita dengan perubahan harga minyak dunia. Negara islam dengan baitul malnya, yang memiliki sumber penerimaan beragam akan mampu menjaga kestabilan harga sehingga rakyat tidak terkena dampak buruk perubahan harga minyak dunia. Wallahu a’lam bishowab
0 Komentar