Obral Remisi Hanya Solusi Pragmatis Sistem Sekuler
Oleh: Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Sosial)
Sebanyak 1107 warga lapas Nunukan, Kalimantan Utara, mendapat remisi umum Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI pada Sabtu (17/8/2024). Sebanyak 12 orang diantaranya langsung bebas. "Dari jumlah tersebut, empat orang merupakan warga binaan anak dan sebanyak 12 orang WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) mendapatkan remisi langsung bebas. (Kompas, com,17/8/2024)
Demikian juga di lapas Kepulauan Bangka Belitung yang membebaskan sebanyak 1.750 orang narapida yang mendapatkan remisi pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI. Dari jumlah tersebut, 48 orang di antaranya langsung bebas. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Bangka Belitung Harun Sulianto mengatakan remisi atau pengurangan masa pidana merupakan wujud apresiasi terhadap pencapaian perbaikan diri narapidana. (Tempo, 18/8/2024)
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H. Laoly tepat di Hari Ulang Tahun RI ke-79 Sabtu, 17 Agustus 2024 mengumumkan sebanyak 176.984 narapidana dan Anak Binaan menerima Remisi Umum (RU), dan Pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU) Tahun 2024. "Remisi ini bukan hadiah melainkan sebagai bentuk apresiasi, Negara memberikan remisi kepada narapidana yang menunjukkan prestasi, dedikasi, dan disiplin tinggi dalam mengikuti program pembinaan," kata Menteri Yasonna, Sabtu, 17 Agustus 2024. (Tempo,18/8/2024)
Namun miris, pada saat yang sama Pemerintah juga menyatakan bahwa dengan pemberian remisi dan pengurangan masa pidana ini, Pemerintah menghemat anggaran Negara sebesar Rp274,36 miliar untuk pemberian makan kepada narapidana dan anak binaan. Dari 526 penjara dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia, 399 diantaranya mengalami overkapasitas. Dari jumlah tersebut, 215 penjara/rutan bahkan mengalami overkapasitas di atas 100% atau dua kali lipat dari kapasitas aslinya. Dengan demikian, overkapasitas penjara membutuhkan anggaran untuk konsumsi, program pembinaan, serta pemeliharaan aset yang sangat besar. Untuk kebutuhan makan napi saja anggarannya mencapai Rp2 triliun per tahun. Tidak heran, semua ini dianggap memberatkan keuangan Negara. Besarnya angka overkapasitas penjara maupun anggaran pemeliharaannya menegaskan bahwa angka kejahatan di Negeri kita sangat tinggi.
Realitas penjara yang overkapasitas dan tingginya angka kriminalitas menunjukkan bahwa sanksi yang diberlakukan oleh sistem hukum kita saat ini tidak mampu membuat napi jera untuk berbuat jahat. Alih-alih tujuan penjara untuk pembinaan dan pelaku menjalani taubatan nasuha, selepas dari penjara biasanya mereka menjadi lebih jahat lagi. Tidak hanya itu, Negara sungguh mengalami kerugian besar. Di satu sisi, terjadi krisis generasi sebagai dampak maraknya kriminalitas. Di sisi lain, sistem sanksi yang berlaku ternyata tidak mampu membina warga binaan secara efektif, kendati mereka sudah bertahun-tahun dipenjara. Akibatnya, besaran anggaran pemeliharaan napi dan lapas menjadi keluhan. Ini menunjukkan bahwa remisi bagi napi bukanlah solusi tuntas.
Maraknya penjahat juga menggambarkan lemahnya kepribadian individu, dan ini erat dengan kegagalan sistem pendidikan. Atas dasar ini, solusi bagi polemik obral remisi ini tidak bisa hanya dari satu sisi, melainkan harus sistemis. Selain itu, lemahnya sistem sanksi dan hukum turut memperburuk kondisi. Inilah akibat penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme yang telah menampakkan kegagalannya dalam mengurus urusan manusia, satu-satunya solusi adalah dengan ganti sistem, yaitu menjadi sistem Islam.
Akar permasalahan dalam hal krisis generasi pelaku kriminal adalah ketiadaan landasan sahih, khususnya dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan sekuler hanya mengejar target prestasi akademik dan orientasi bekerja yang minim dari penanaman adab dan pembentukan kepribadian luhur. Bobot pelajaran agama Islam di sekolah dan kampus pun ala kadarnya. Sebaliknya, sistem pendidikan Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu mencetak generasi berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiah). Sistem pendidikan Islam membentuk pola pikir dan pola sikap para peserta didik agar perilakunya senantiasa selaras dan terikat dengan hukum syariat. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam mampu menjadi instrumen penting dalam menghasilkan peserta didik yang memiliki ketakwaan tinggi. Maka dengan bekal takwa itu mereka dibina untuk menjadi individu yang peka terhadap aktivitas dakwah menyebarkan pemikiran Islam.
Selanjutnya, mereka diarahkan menjadi pribadi yang memiliki beragam kecerdasan dalam rangka berkontribusi untuk umat, bukan dicetak menjadi para pekerja/pengusaha untuk mengisi dunia industri maupun mesin pemutar roda ekonomi. Pengajaran Islam diberikan kepada peserta didik bukan berupa teori semata, melainkan untuk menjadi petunjuk kehidupan yang praktis. Keberhasilan sistem pendidikan Islam juga terwujud pada pembentukan pribadi yang mulia. Ini karena Islam meletakkan pendidikan adab bagi para pelajar sebelum mereka mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Selain itu, individu warga juga membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang nyaman bersama masyarakat yang kondusif. Masyarakat tersebut juga harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam, demikian pula landasan terjadinya pola interaksi di antara mereka. Kondisi ini membuat mereka tidak asing dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Mereka tidak akan bersikap individualis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu. Sebaliknya, masyarakat Islam sangat kondusif untuk menghasilkan orang-orang yang memiliki keterikatan terhadap syariat Islam kafah.
Sejatinya mengatasi kriminalitas yang disebabkan faktor ekonomi, maka Khilafah wajib untuk menyelidiki secara terperinci dan memastikan distribusi kekayaan di kalangan warganya. Jangan sampai ada warga Khilafah yang terpaksa bertindak kriminal akibat kemiskinan, kelaparan, dan masalah ekonomi lainnya. Ini sebagaimana pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, berdasarkan hadis dari ‘Aisyah ra.,
“Rasulullah SAW. memotong tangan pencuri itu yang mencuri seperempat dinar ke atas.” (HR Bukhari Muslim).
Sementara itu, konsep tidak tebang pilih dalam sistem sanksi Islam memungkinkan penerapan hukum Islam jauh dari fenomena tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal ini sebagaimana hadis riwayat dari ‘Urwah bin Zubair ra., ia berkata bahwa Nabi SAW. pernah berkhotbah dan menyampaikan,
“Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun, ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman had. Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Allah Taala telah menetapkan uqubat (hukuman) atas semua manusia secara adil, baik muslim ataupun nonmuslim. Semuanya wajib dikenai sanksi yang sama jika melakukan pelanggaran. Ini karena dalam pandangan Islam, sifat dasar manusia adalah sama, yakni sama-sama mempunyai potensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di samping itu, Islam memandang uqubat (sanksi hukum) tersebut sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama dapat dicegah sehingga tidak muncul keinginan untuk melakukan hal yang sama. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an,
“Dan dalam hukuman kisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 179).
Adapun yang dimaksud dengan pemaksa (kuratif) adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terjadi penyesalan selama-lamanya atau tobat nasuhah. Penerapan sanksi di dunia ini bisa mencegah dijatuhkannya hukuman di akhirat.
Oleh karenanya aspek final dalam menanggulangi angka kejahatan dan persoalan napi adalah penerapan sistem sanksi dan hukum yang tegas oleh Negara, yakni Khilafah. Sistem sanksi dalam Islam tidak pandang bulu, melainkan adil dan tidak mengenal kompromi, apalagi jual beli hukum. Jelas, dalam hal ini remisi bukanlah solusi hakiki.
Demikianlah, Islam mampu memberikan solusi sistemis bagi permasalahan kehidupan manusia. Obral remisi sejatinya solusi pragmatis produk sistem sekuler yang nyata-nyata tidak mampu menyentuh akar permasalahan atas maraknya kasus kejahatan. Demikian pula alasan penghematan anggaran bagi pemeliharaan napi dan lapas menunjukkan bahwa Pemerintah tidak serius memutus rantai kejahatan. Ini karena faktor-faktor lain penyebab terjadinya kejahatan tidak pernah diatasi secara tuntas. Wallahualam bissawab.
0 Komentar