Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Ada Cinta Sejenis di Balik Lavender Marriage

 


Oleh: Fita Rahmania, S. Keb., Bd.


Istilah lavender marriage baru-baru ini ramai berseliweran di media sosial karena sering dikaitkan dengan salah satu isu perceraian di kalangan artis tanah air. Netizen pun banyak penasaran dengan makna dari istilah ini.


Melansir Idntimes.com, lavender marriage merupakan suatu ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan di mana setidaknya terdapat salah satu pasangannya yang homoseksual atau biseksual, tetapi pernikahan tersebut dilakukan bukan karena didasari oleh rasa cinta. Adapun istilah 'lavender' sendiri menggambarkan perpaduan warna yang secara tradisional dikaitkan dengan gender ala kaum LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Trans, dan Queer). Gaya pernikahan ini biasanya dilakukan untuk menyembunyikan orientasi seksual akibat tekanan sosial dan kurangnya penerimaan masyarakat.


Lavender marriage mulai berkembang sebelum Perang Dunia II tepatnya pada awal abad ke-20. Saat itu, sikap masyarakat terhadap kaum homoseksual dan LGBTQ+ membuat seorang homoseksual tidak bisa leluasa terbuka dan diterima masyarakat. Namun lambat laun, menjelang akhir abad ke-20 terjadi perubahan besar pada kalangan LGBTQ+ yang ditandai dengan Kerusuhan Stonewall pada tahun 1969. Mereka seketika dapat membalikkan keadaan dan secara terang-terangan menuntut persamaan hak dan rasa hormat terhadap komunitas mereka di Amerika Serikat.


Awalnya, istilah lavender marriage hanya lazim dipakai untuk kalangan terbatas, yaitu aktris dan aktor Hollywood. Mereka terpaksa menyembunyikan orientasi seksual mereka dan atas nama karir, banyak dari mereka yang akhirnya memilih melakukan lavender marriage. Mereka rela menikah tanpa desertai rasa cinta demi melindungi diri mereka dari kebencian dan penghakiman publik.

 

Seiring dengan semakin gencarnya negara-negara Barat memberikan dukungan dan penerimaannya terhadap hubungan sesama jenis, konsep lavender marriage pun sempat ditinggalkan. Namun, dalam komunitas dan budaya di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, hubungan sesama jenis masih belum dapat diterima. Lavender marriage pun menjadi jalan ninja kaum LGBTQ+ untuk lari dari norma-norma yang dianut masyarakat.


Misalnya di Indonesia, meski secara umum masyarakatnya menolak kaum homoseksual tetapi sebetulnya aktivitas mereka tetap eksis dan teraba. Bahkan kian hari mereka semakin berani menunjukkan eksistensinya di negeri mayoritas muslim ini. Mereka tak kenal lelah berjuang dengan berbagai argumentasi agar keberadaannya mendapat legalitas secara hukum.


Keberadaan lavender marriage tentu akan merusak sakralnya pernikahan. Pernikahan pada hakikatnya adalah cara manusia menyalurkan naluri melestarikan jenis. Dengan menikah manusia tidak akan punah. Namun, lavender marriage membuat pernikahan tidak lebih dari sekedar main-main belaka. Sekarang menikah besok bisa saja bercerai.


Bagaimanapun hubungan sesama jenis merupakan suatu bentuk penyimpangan seksual. Perilaku yang mendasari terjadinya lavender marriage ini lahir dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan manfaat sebagai asas dalam kehidupan, serta menempatkan kebebasan, baik kebebasan beragama, berkepemilikan, berpendapat maupun berperilaku di atas segalanya.


Terlebih lagi HAM yang diusung sistem ini semakin mengukuhkan kebebasan. Mereka dapat bebas berbuat sekehendak hatinya selama tidak mengganggu orang lain. Sekalipun disadari atau tidak dalam jangka waktu tertentu berbagai penyakit menular seksual pasti akan mengancam nyawa semua orang. Sebagaimana data yang dipaparkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, pria gay dan biseksual, 17 kali lebih memungkinkan terkena Infeksi menular seksual (IMS) seperti human immunodeficiency virus (HIV) dibandingkan pria heteroseksual. Karena, homoseksual atau biseksual cenderung akan berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks. (halodoc.com, 2/9/2024)


Padahal, manusia diciptakan Allah SWT berikut dengan seperangkat aturan agar manusia tidak terjerumus dalam kehancuran. Allah SWT telah menetapkan pernikahan sebagai tempat ketenangan bagi pasangan suami istri. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar-Rum ayat 21 yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”


Ketika manusia tidak menjadikan Islam sebagai standar perilaku, maka hawa nafsu yang akan maju menjadi penentu. Akibatnya, manusia berlomba-lomba memenuhi kebutuhan naluri dan jasmani sesuka hatinya, tanpa memedulikan fitrah dan ketakwaan individu. 


Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap orang menyadari bahaya arus LGBTQ+ dan berupaya untuk menghentikannya. Tidak cukup hanya dengan seruan ataupun kecaman, tapi perlu adanya kekuatan politik dan hukum yang melindungi seluruh umat manusia. Kekuatan ini hanya dapat dijumpai di dalam Islam, satu-satunya dien yang berasal dari Pencipta Yang Maha Sempurna. Kekuatan ini pula yang akan menjadi perisai bagi umat manusia dalam menahan gerusan arus kerusakan paham kebebasan yang melahirkan gerakan LGBTQ+.

Posting Komentar

0 Komentar