Toleransi yang Hakiki
Oleh: Murtini, SE (Aktifis Muslimah)
Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024-2025, Menteri Agama RI, Nasrudin Umar, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk terus menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama. Dalam pernyataannya, beliau mengingatkan pentingnya menjaga toleransi dalam kehidupan beragama sebagai salah satu nilai fundamental dalam kehidupan berbangsa. Sebagai langkah konkrit, Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, menetapkan 26 Desember 2024 sebagai hari cuti bersama Natal. Namun, tidak ada libur nasional tambahan hingga pergantian tahun. Dengan kata lain, perayaan Tahun Baru Masehi yang jatuh pada 1 Januari 2025 tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana tercantum dalam SKB yang diterbitkan pada 14 Oktober 2024.
Nasrudin Umar juga menekankan bahwa menjaga toleransi bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Indonesia. Menurutnya, kerukunan dalam keberagaman adalah salah satu bukti kebesaran dan martabat bangsa. “Keharmonisan antar umat beragama merupakan kekuatan utama yang harus kita jaga, agar Indonesia tetap menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia,” ujarnya. Dalam konteks ini, toleransi bukan sekadar sikap menerima, tetapi juga upaya menjaga perdamaian dan mengedepankan rasa saling menghormati dalam setiap aspek kehidupan.
Selain Menteri Agama, seruan untuk menjaga kerukunan antar umat beragama juga disampaikan oleh berbagai pejabat daerah, termasuk Ketua Komisi I DPRD Kota Banjarmasin, Aliansyah. Dalam pernyataannya, Aliansyah mengimbau masyarakat Kota Banjarmasin untuk menjaga suasana perayaan Natal dan Tahun Baru yang aman, damai, dan tertib. “Semoga perayaan Natal dan Tahun Baru di Banjarmasin tetap aman, damai, dan tertib, seperti tahun-tahun sebelumnya. Toleransi antar warga juga harus terus ditingkatkan,” ujarnya. Toleransi antar umat beragama, menurutnya, harus terus dijaga dan diperkuat sebagai bagian dari keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa.
Seruan tentang toleransi sering kali muncul menjelang akhir tahun, khususnya ketika masyarakat merayakan hari besar agama, baik Natal maupun Tahun Baru. Tak hanya Menteri Agama dan pejabat daerah, seruan serupa juga sering disampaikan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan politisi, akademisi, maupun tokoh masyarakat. Hal ini, menurut beberapa pengamat, terjadi karena adanya ketidakpahaman yang meluas mengenai tugas penguasa dan pejabat negara dalam menjaga urusan umat, khususnya dalam kaitannya dengan akidah dan keyakinan agama. Ketidakpahaman ini semakin mengemuka karena adanya penerapan sistem sekulerisme yang mengurangi peran agama dalam urusan pemerintahan dan kehidupan bernegara.
Sekularisme, yang mengedepankan pemisahan antara urusan agama dan negara, sering dianggap sebagai penyebab utama munculnya kesalahpahaman tersebut. Dalam sistem ini, negara lebih cenderung menghindari campur tangan dalam urusan keagamaan. Sebagai akibatnya, banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk turut campur dalam urusan keagamaan, termasuk dalam hal menjaga akidah umat. Padahal, dalam perspektif Islam, peran pemimpin dan pejabat negara seharusnya bukan hanya untuk memimpin secara administratif, tetapi juga untuk memberikan bimbingan agama yang sesuai dengan ajaran Islam, khususnya dalam momen-momen yang dapat mempengaruhi akidah umat.
Islam sendiri mengajarkan prinsip toleransi yang sangat mendalam. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk membiarkan umat lain beribadah dan merayakan hari raya mereka sesuai dengan keyakinan masing-masing, tanpa mengganggu atau merusak kegiatan tersebut. Toleransi ini bukan berarti terlibat dalam aktivitas ibadah mereka, termasuk mengucapkan selamat atau memakai atribut keagamaan mereka. Mengucapkan selamat atau memakai atribut peribadatan agama lain, dalam pandangan Islam, dapat dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap agama dan kebenaran ibadah mereka. Padahal, dalam Islam terdapat prinsip Innaddina 'indallahil Islam (QS. Ali Imran: 19), yang menegaskan bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam. Selain itu, dalam Al-Qur'an surah Al-Kafirun, Allah SWT berfirman, La a'budu ma ta'budun dan Lakum dinukum waliyadin (QS. Al-Kafirun), yang berarti bahwa setiap umat memiliki agama dan keyakinan masing-masing, dan tidak ada kompromi dalam masalah keyakinan.
Dengan demikian, prinsip toleransi dalam Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, namun tetap berpegang teguh pada akidah dan keyakinan yang benar menurut ajaran Islam. Toleransi yang hakiki adalah mampu hidup berdampingan dengan umat lain dalam kedamaian, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama yang diyakini. Dalam konteks ini, peran pemimpin, baik pemerintah maupun tokoh agama, adalah untuk terus mengingatkan umat akan pentingnya menjaga akidah, terutama dalam menghadapi berbagai perayaan agama lain yang berpotensi mempengaruhi keyakinan mereka.
0 Komentar