Home

Temukan Informasi Terkini dan Terpercaya di PojokKota.com: Menyajikan Berita dari Sudut Pandang yang Berbeda, Menyajikan Berita Terkini Tanpa Basa-basi! www.pojokkota.com

Efisiensi Anggaran, Tepat Sasaran atau Salah Pengelolaan?

Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb. , Bd. (Aktivis Muslimah)


Beberapa waktu lalu, sejumlah menteri dan kepala badan mengungkapkan dampak dari pemangkasan anggaran sebesar Rp306,69 triliun dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto. Salah satu sektor yang paling terdampak adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU), yang mengalami pemotongan anggaran hingga mencapai Rp81 triliun. Efisiensi yang dilakukan tersebut berisiko mengganggu berbagai proyek infrastruktur yang sedang berjalan.


Namun, ada kementerian yang tidak terkena dampak pemangkasan, salah satunya adalah Kementerian Sosial (Kemensos). Anggaran untuk bantuan sosial (bansos) tetap aman dan tidak terganggu. Hal ini sesuai dengan Inpres 1/2025 yang memang mengecualikan bansos dan belanja pegawai dari pemangkasan anggaran.


Sebelumnya, Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi sekaligus adik Presiden Prabowo, menjelaskan bahwa pemangkasan anggaran dilakukan karena banyak anggaran yang tidak dipakai secara efektif. Program-program yang tidak produktif, seperti perjalanan dinas luar negeri, bahkan disebutkan oleh Hashim sebagai hal yang “konyol.” Setelah melakukan pemeriksaan mendalam terhadap APBN, pemerintah memutuskan untuk melakukan penghematan, dan hasil penghematan tersebut akan dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).


MBG dianggap sebagai program unggulan, yang mendapatkan prioritas anggaran yang besar. Bahkan, Badan Gizi Nasional (BGN) mengonfirmasi bahwa program MBG akan menerima tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun dari hasil pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga lainnya. Namun, meskipun anggaran untuk MBG ditambah, penghematan yang dilakukan tidak selalu berdampak positif. Justru, pemangkasan anggaran ini mengarah pada ketimpangan anggaran yang merugikan sektor lain yang sangat penting.


Pemangkasan anggaran justru berdampak pada sektor-sektor yang sangat vital, seperti pendidikan. Misalnya, Kementerian Keuangan terpaksa membatalkan penawaran beasiswa tahun ini sebagai dampak dari pemotongan anggaran, padahal beasiswa ini baru saja dibuka pada 10 Januari 2025. Beasiswa tersebut sangat penting bagi pengembangan talenta-talenta terbaik Kementerian Keuangan yang nantinya diharapkan dapat menjadi pemimpin masa depan.


Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengalami pemotongan anggaran sebesar Rp22,5 triliun. Dampaknya langsung terasa pada program-program pendidikan di tingkat akar rumput, meskipun pemerintah mengklaim bahwa pemotongan ini terutama terkait dengan anggaran perjalanan dinas, rapat, dan koordinasi. Namun, anggaran untuk riset dan program pendidikan lainnya mengalami pemangkasan yang cukup signifikan.


Sektor vital lainnya yang terpengaruh adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Anggaran Kemenkes terpangkas hingga Rp19,6 triliun dari total anggaran Rp105,6 triliun yang dialokasikan pada 2025. Hal ini memicu kekhawatiran terkait pelayanan kesehatan yang esensial. Sebagai contoh, meskipun Indonesia telah memiliki sistem BPJS Kesehatan, namun banyak warga yang masih merasakan kesulitan dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang layak.


Pemangkasan juga terjadi di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dengan anggaran yang dipotong hingga 43,3%, dari Rp2,5 triliun menjadi Rp1,1 triliun. Penghematan ini dapat menyebabkan dampak buruk bagi industri padat karya, yang berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, anggaran yang dipotong bisa mengancam pengembangan UMKM dan industri rumah tangga, sementara keran impor justru semakin terbuka lebar.


Sektor pembangunan infrastruktur yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) juga turut terkena dampak pemangkasan anggaran. Seperti yang sudah diketahui, pembangunan infrastruktur di Indonesia seringkali tidak merata. Kota-kota besar seringkali mendapatkan perhatian lebih banyak, sementara daerah pedalaman dan daerah tertinggal cenderung terabaikan. Pemangkasan anggaran yang terjadi mengancam keberlanjutan proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh daerah-daerah yang tertinggal ini.


Tentu, jika tujuan pemangkasan anggaran adalah efisiensi, maka pemerintah perlu lebih cermat dalam merencanakan pembelanjaan negara. Program-program yang terkait dengan kebutuhan dasar rakyat seharusnya menjadi prioritas utama, bukannya sekadar program-program yang bersifat sementara atau yang sekadar menunjukkan kepedulian politik. Salah satu program yang mendapat perhatian besar adalah MBG, yang meskipun sangat penting, seharusnya tidak menjadi "anak emas" yang mengabaikan kebutuhan lain yang lebih mendesak.


Di sisi lain, pemerintah juga tengah mencari cara untuk mendapatkan dana segar guna menutupi kekurangan anggaran. Salah satu cara yang disebut-sebut adalah dengan meningkatkan utang luar negeri atau mencari dana dari sektor swasta. Namun, hal ini berpotensi menambah beban negara, terutama mengingat banyak utang luar negeri yang mengandung unsur riba, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.


Dalam sistem pemerintahan Islam, negara bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat, termasuk dalam pengelolaan anggaran. Negara Islam (Khilafah) diharuskan untuk memastikan bahwa setiap pemanfaatan harta negara, termasuk anggaran negara, sesuai dengan hukum syarak. Pengelolaan anggaran yang efisien dan tepat sasaran hanya bisa dicapai jika sistem ekonomi negara didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan bagi seluruh rakyat.


Dalam hal ini, pengelolaan anggaran tidak boleh hanya mengutamakan efisiensi semata, tetapi juga harus memastikan bahwa anggaran digunakan untuk sektor-sektor yang memberikan manfaat langsung kepada rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar yang merata. Selain itu, Khilafah akan memastikan bahwa pendapatan negara berasal dari sumber yang halal dan tidak melibatkan utang luar negeri yang merugikan.


Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari). Oleh karena itu, pengelolaan anggaran dalam Khilafah dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan tidak ada yang diutamakan selain kesejahteraan rakyat.

Posting Komentar

0 Komentar