Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd. (Aktivis Muslimah)
Indonesia kembali diguncang dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, setelah PT Sri Rejeki Isman (Sritex), salah satu raksasa tekstil tanah air, resmi berhenti beroperasi pada 1 Maret 2025. Setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, lebih dari 10.000 karyawan kehilangan pekerjaan. Meski upaya penyelamatan melalui investor baru yang berencana menghidupkan kembali perusahaan ini disambut harapan, ancaman PHK tetap membayangi industri tekstil Indonesia yang sedang terpuruk.
Sritex, yang merupakan produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, menghadapi krisis keuangan parah yang dimulai pada 2021, setelah gagal bayar utang. Krisis ini semakin diperburuk dengan persaingan global yang ketat, dampak pandemi Covid-19 yang mengguncang rantai pasok, serta ketegangan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina yang mengganggu ekspor ke pasar utama, termasuk AS dan Eropa.
Lebih parah lagi, regulasi baru, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024, telah mengguncang industri tekstil lokal. Kebijakan ini yang mempermudah impor barang tanpa izin teknis, menyebabkan lonjakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT). Produksi dalam negeri merosot tajam hingga 70%, dan banyak perusahaan tekstil terpaksa menutup pabriknya, yang akhirnya memicu PHK massal.
Di balik kebijakan ini, terdapat kemitraan antara negara-negara ASEAN dan Cina melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), yang mendorong liberalisasi pasar bebas tanpa mempertimbangkan dampak pada industri domestik. UU Cipta Kerja yang diubah menjadi Perppu Cipta Kerja 2020 semakin memudahkan impor, memberi kesempatan bagi barang-barang asing untuk membanjiri pasar Indonesia, sementara industri lokal kesulitan bersaing. Hal ini semakin memperburuk nasib industri tekstil dalam negeri, dan Sritex adalah salah satu korban dari sistem ekonomi yang mengandalkan pasar bebas tanpa kontrol yang memadai.
Sistem ekonomi kapitalisme, yang mendukung kebebasan pasar dan minimnya intervensi negara, semakin menjadikan Indonesia rentan terhadap serangan produk impor. Kebijakan liberalisasi ini tidak hanya merugikan industri dalam negeri, tetapi juga mengancam kesejahteraan rakyat, khususnya para pekerja yang kehilangan pekerjaan. Negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator, membiarkan kepentingan korporasi menguasai pasar.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menawarkan solusi yang lebih berkeadilan melalui sistem ekonomi yang berlandaskan pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Dalam Islam, kepemilikan harta terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola harta milik umum demi kemaslahatan rakyat. Dalam hal ini, negara memiliki peran besar dalam mengelola industri strategis dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Islam juga melarang pengelolaan harta milik umum oleh individu atau swasta, yang mencegah kekuasaan ekonomi terpusat pada segelintir orang atau korporasi besar. Negara dalam sistem Islam harus memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan, terutama di sektor-sektor yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, seperti industri permesinan, pertanian, dan manufaktur.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab untuk menyediakan pekerjaan bagi rakyatnya, baik melalui sektor formal maupun dengan memberikan insentif atau modal untuk memulai usaha. Negara juga wajib memberi pelatihan dan keterampilan kepada rakyat agar mereka siap bekerja di berbagai jenis industri. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang membiarkan pasar menentukan nasib pekerja tanpa intervensi negara.
Sebagai contoh, negara dapat membangun industri-industri penting, seperti industri pangan, obat-obatan, dan peralatan transportasi untuk kebutuhan ibadah, yang tidak hanya akan membuka lapangan pekerjaan, tetapi juga meningkatkan kemandirian ekonomi negara. Negara Islam, melalui kebijakan fiskalnya, akan memastikan bahwa kebutuhan dasar rakyat terlebih dahulu dipenuhi sebelum melakukan ekspor.
Perdagangan luar negeri juga diatur dalam Islam, di mana negara memiliki kontrol penuh atas ekspor dan impor. Misalnya, negara Islam melarang ekspor barang-barang strategis yang dapat digunakan untuk memerangi negara tersebut. Sementara itu, impor dari negara yang tidak memiliki hubungan musuh (kafir harbi) diatur dengan ketat untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional. Dengan demikian, negara tidak hanya melindungi industri dalam negeri, tetapi juga menjaga kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang kafah, Indonesia dapat menghindari jebakan liberalisasi pasar bebas yang merugikan industri domestik. Negara harus kembali berperan aktif dalam mengelola industri strategis dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Dengan kebijakan yang berkeadilan, seperti yang dijamin dalam Islam, Indonesia dapat menghadapi tantangan ekonomi global dan menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
Sistem ekonomi Islam yang memperhatikan keseimbangan antara kepemilikan individu, umum, dan negara, serta menjamin perlindungan terhadap industri dalam negeri, adalah kunci untuk membangun perekonomian yang tangguh dan berkeadilan. Negara harus menjalankan sistem kepemimpinan yang menerapkan Islam kafah demi mewujudkan kesejahteraan umat.
0 Komentar