Mungkinkah Kekejaman Zionis Berakhir Lewat Perjanjian Damai dan Gencatan Sejata?
Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb., Bd. (Aktifis Muslimah)
Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Ramadan di Palestina kembali diwarnai oleh ketidakamanan dan kekerasan. Operasi militer dilancarkan kembali oleh Zionis Yahudi pada pertengahan Ramadan, dan dunia dibuat menyaksikan kembali pembantaian massal yang terus berulang. Diperkirakan, sekitar seratus anak-anak Gaza kehilangan nyawa setiap harinya akibat serangan brutal tersebut.
Muncul pertanyaan penting, Apakah kekejaman yang dilakukan oleh Zionis dapat dihentikan hanya melalui perjanjian damai atau gencatan senjata?
Mungkinkah penyelesaian dicapai melalui program rekonstruksi Gaza atau kemerdekaan negara Palestina?
Maka kita bisa melihat dengan mata kelapa kita belum kering tinta dari kesepakatan gencatan senjata di awal tahun, perjanjian tersebut telah dilanggar oleh tindakan biadab yang kembali dilakukan. Perjanjian-perjanjian damai tidak pernah dipatuhi oleh pihak Zionis, dan keberadaan negara Palestina tidak pernah diakui oleh mereka.
Realitas di Lapangan
Sementara dunia berbicara soal solusi damai, pembangunan permukiman terus dilakukan, yahudisasi makin meluas, dan rumah-rumah warga Palestina terus dihancurkan. Penjajahan tidak sedang dihentikan, justru eksistensi permanen sedang ditegakkan oleh penjajah.
Selama bertahun-tahun, wacana rekonstruksi Gaza terus diangkat. Namun, kehancuran hanya diperparah oleh serangan udara yang terus-menerus dilakukan oleh Zionis. Tidak ada kekuatan nyata yang benar-benar melindungi rakyat Palestina.
Disebutkan pula bahwa jika penyelesaian sungguh diinginkan, seharusnya pasukan militer dikerahkan untuk membebaskan Gaza, bukan sekadar memperbaiki puing-puing yang ditinggalkan oleh penjajahan. Diibaratkannya seperti menambal atap rumah yang terus ditembaki—selama pelurunya masih menghujani, perbaikan tak akan pernah tuntas.
Kemerdekaan Palestina: Solusi atau Ilusi?
Wacana tentang kemerdekaan Palestina dengan batas wilayah 1967 juga dikritisinya. Tanpa kekuatan militer yang riil, dan selama tunduk pada kesepakatan internasional buatan Barat, kemerdekaan itu hanya menjadi solusi semu.
Wilayah Palestina saat ini tetap terpecah—Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur tidak berada dalam satu kesatuan. Sementara itu, 78% tanah Palestina masih berada dalam cengkeraman Zionis. Bahkan, eksistensi mereka terus diperkuat melalui pengakuan internasional.
Menurutnya, tanah Palestina merupakan milik seluruh umat Islam. Selama penjajahan masih berlangsung dan Zionis tetap bercokol di atasnya, maka konflik tidak akan pernah benar-benar diselesaikan.
Solusi Islam untuk Palestina
Dalam pandangannya, Islam telah menyediakan petunjuk jelas untuk mengakhiri penjajahan. Tanah yang dirampas dari kaum muslim wajib dibebaskan dan dikembalikan kepada umat. Entitas Zionis yang merupakan proyek penjajahan harus dihapuskan.
Ditegaskannya bahwa tanah Palestina wajib dikembalikan ke dalam naungan kekuasaan Islam (Khilafah). Khalifah lah yang seharusnya mengomandoi pengiriman pasukan untuk mengusir penjajah, sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Namun, semua itu hanya dapat diwujudkan setelah Khilafah ala minhaj nubuwwah ditegakkan kembali oleh umat Islam yang bersungguh-sungguh menjadikannya prioritas utama.
Penekanan juga diberikan bahwa dalam menghadapi kompleksitas masalah umat, termasuk Palestina, skala prioritas harus ditentukan. Puncak dari prioritas itu adalah penerapan Islam secara menyeluruh dan pendirian Khilafah, yang akan menyatukan kekuatan umat dan membebaskan manusia dari sistem buatan manusia.
Ditutupnya dengan penegasan akan janji Allah dalam surah Al-Hajj ayat 40–41:
“Dan sungguh Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa...”
0 Komentar